Kamis, 07 April 2011

Cinta Allah dan Rasul-Nya

Menanamkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan tugas utama seorang pendidik muslim. Dengannya, anak didik akan ringan melaksanakan ibadah dan mengikuti sunnah. Ringan dalam menerima dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupannya, karena yang dituju dan dicari sudah jelas, yaitu cinta Allah dan Rasul-Nya.
Satu pelajaran lagi dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang masalah iman mengenai tanda cinta pada Allah. Beliau, Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
Cinta pada Allah dan Rasul-Nya telah ada dalam hati setiap orang beriman. Tidak mungkin seseorang menghilangkan rasa cinta tersebut jika memang ia adalah orang yang beriman. Tanda cinta pada Allah dan Rasul-Nya begitu nampak jika ada seseorang yang mencela Rasul dan menjelek-jelekkannya, atau ada orang yang mencaci maki Allah atau menyebut tentang Allah dengan sesuatu yang tidak pantas. Maka orang beriman akan benci dengan hal-hal tadi. Kebenciannya tersebut lebih besar dari kebenciannya ketika ayah atau ibunya dicacimaki (Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah).

Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, beberapa orang Yahudi datang menemui beliau. Mereka berkata, “Kami mencintai Allah, akan tetapi kami tidak dapat mengikuti ajaranmu.” Kemudian Allah membantah dan membatilkan kecintaan mereka kepada-Nya dan menganggap pernyataan itu dusta. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:
Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31).
Ayat ini memberitahukan bahwa mencintai Allah ialah dengan mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam, menaati apa yang diperintahkannya, dan meninggalkan segala larangannya yang termaktub dalam hadits-hadits shahih yang telah beliau jelaskan kepada umat manusia. Cinta itu tidak terjadi dengan sekedar untaian kata-kata, tanpa mengamalkan petunjuk, perintah dan sunnah-sunnahnya.

Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Salam bersabda:
Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya dan manusia seluruhnya.” (HR. al-Bukhari).
Hadits shahih di atas memberitahukan kepada kita bahwa iman seorang muslim tidak sempurna hingga mencintai Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam melebihi kecintaan kepada anak, orang tua dan manusia seluruhnya, serta bahkan melebihi cintanya kepada dirinya sendiri—sebagaimana hal itu disebutkan dalam hadits yang lain. Pengaruh cinta tersebut akan nampak ketika perintah-perintah dan larangan-larangan Rasul Shallallaahu ‘alaihi wa Salam berseberangan dengan keinginan nafsu, keinginan istri dan anak-anak serta orang-orang yang berada di sekitarnya. Jika ia benar-benar mencintai Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam, niscaya ia mendahulukan perintah-perintahnya dan menyelisihi nafsunya, keluarganya, keinginannya dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Jika ia dusta, berarti ia telah durhaka kepada Allah dan RasulNya serta menyelarasi setan dan hawa nafsunya.

Jika Anda bertanya kepada seorang muslim, “Apakah Anda mencintai Rasul Anda?” Maka ia menjawab kepada Anda, “Ya, tebusannya adalah jiwa dan hartaku.” Jika Anda bertanya kepadanya, “Mengapa Anda mencukur jenggot Anda dan menyelisihi perintahnya mengenai demikian dan demikian…serta Anda tidak menirunya dalam penampilan, akhlak dan tauhidnya?” Ia menjawab kepada Anda dengan ucapannya, “Cinta itu dalam hati, dan hatiku bersih. Alhamdulillah.” Kita katakan kepadanya: Seandainya hati Anda bersih, niscaya hal itu tampak pada tubuh Anda; berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Salam:
Ketahuilah bahwa dalam tubuh ada segumpal daging; jika baik, maka semua tubuh menjadi baik dan jika rusak, menjadi semua tubuh menjadi rusak, yaitu jantung.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Suatu kali, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu bersilaturrahim kepada seorang dokter muslim, dan beliau  melihat foto-foto beberapa orang pria dan wanita tergantung di dinding. Ketika beliau menyebutkan kepadanya tentang larangan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam mengantung gambar-gambar, ia menolaknya dengan mengatakan, “Mereka adalah kawan-kawan priaku dan teman wanitaku di kampus.” Mengingat bahwa kebanyakan dari mereka adalah orang-orang kafir, terutama kaum wanita yang memperlihatkan rambut dan perhiasan mereka di foto tersebut. Mereka semua berasal dari negeri-negeri komunis. Sementara dokter ini mencukur jenggotnya. Ketika beliau menasihatinya, ia malah bangga dengan dosa seraya mengatakan bahwa ia akan mati dalam keadaan mencukur jenggotnya. Anehnya dokter yang menyelisihi ajaran-ajaran Rasul ini mengklaim “cinta palsu”nya kepada Rasul Shallallaahu ‘alaihi wa Salam, seraya mengatakan kepadaku, “Katakanlah, wahai Rasulullah, aku berada dalam perlindunganmu!” Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata dalam hati, “Anda menyelisihi perintahnya kemudian Anda masuk dalam perlindungannya. Apakah Rasul ridha dengan kesyirikan tersebut? Kita dan Rasul berada dalam perlindungan Allah semata.

Mencintai Rasul Shallallaahu ‘alaihi wa Salam tidak dengan upacara-upacara seremonial, membuat hiasan-hiasan, menyenandungkan lagu-lagu yang tidak sunyi dari kemungkaran, bid’ah-bid’ah lainnya yang tiada asalnya dalam agama. Tetapi cinta ialah dengan mengikuti petunjuknya, berpegang dengan sunnahnya, dan menerapkan ajaran-ajarannya. Betapa indahnya ucapan seorang penyair:

Jika cintamu memang benar, niscaya kamu menaatinya
Sesungguhnya orang yang mencintai itu menaati siapa yang dicintainya.

Sesungguhnya para kekasih Allah pasti akan bersegera menggapai kecintaan Allah. Dia akan mengutamakannya atas yang lain. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam pernah mengabarkan bahwa Allah tersenyum pada tiga jenis manusia. Salah satunya adalah seorang laki-laki yang memiliki rasa cinta. Ia melakukan perjalanan bersama rombongan kafilah. Di tengah perjalanan mereka merasakan kelelahan. Ketika sahabatnya yang lain berhenti, mereka merebahkan tubuh mereka di atas tanah hingga tertidur. Adapun orang tadi, ia sama sekali tidak tidur. Ia bergegas mencari air dan mengambil wudlu. Ia lalu menghadap kiblat untuk shalat dan menangis. Ia berdoa dan bermunajat kepada Dzat yang Mahaesa.
Ini merupakan cerminan dari adanya rasa cinta. Kecintaan yang mendorong pemiliknya untuk melakukan apa saja agar mendapat keridlaan orang yang dicintainya.


Dikutip dari buku “Meniti dan Meneladani Golongan yang  Selamat
Penulis : Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
Penerbit : Pustaka At-Tibyan
http://an-naba.com/cinta-allah-dan-rasulnya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar