Dienul Islam seluruhnya indah. Aqidahnya adalah aqidah yang paling benar, paling lurus dan paling bermanfaat. Etikanya adalah etika yang paling terpuji dan paling elok. Amal dan hukumnya adalah yang paling baik dan paling adil.
Islam adalah agama kebahagiaan dan kemenangan, dan bahwasanya Islam tidak membiarkan manusia dalam kesendiriannya, atau bersama keluarganya, atau bersama tetangganya, atau bersama saudara-saudara seagamanya, bahkan bersama manusia lainnya melainkan diajarkan kepadanya etika-etika secara detail, cara-cara bergaul yang dapat menjadikan kehidupannya damai dan meraih kebahagiaan.
Dengan pandangan yang agung dan tinjauan yang indah terhadap keindahan agama inilah, Allah akan meresapkan keimanan ke dalam hati seorang hamba dan menjadikan iman itu indah dalam hatinya. Sebagaimana karunia yang telah dilimpahkan-Nya untuk hamba-Nya yang terpilih. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu”. (QS. Al-Hujuraat:7)
Sehingga iman dalam hati menjadi sesuatu yang paling disukai dan yang paling indah. Dengan inilah seorang hamba akan merasakan kelezatan iman, ia akan benar-benar merasakannya dalam hatinya. Batin menjadi indah dengan dasar keimanan dan hakikatnya. Dan lahiriyah juga menjadi indah dengan amal-amal keimanan.[1]
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata: “Jika engkau perhatikan hikmah yang sangat agung pada agama yang lurus, millah yang hanif dan syariat yang dibawa Muhammad dengan segala kesempurnaannya, tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, dan keindahannya tidak kuasa untuk disifatkan serta tidak dapat dibayangkan oleh orang-orang yang cemerlang akalnya, meskipun mereka berkumpul memikirkannya dan mereka semua memiliki akal lelaki yang paling sempurna menurut ukuran akal yang paling cemerlang untuk mengenali keindahannya dan menyaksikan keutamaannya. Tidak pernah ada di alam semesta syariat yang lebih sempurna, lebih mulia dan lebih agung daripadanya. Syariat itu sendiri menjadi saksi dan yang disaksikan, menjadi hujjah dan yang didukung oleh hujjah, menjadi dakwa dan keterangan, seandainya rasul tidak datang membawa bukti keterangan niscaya sudah cukup syariat ini menjadi bukti, ayat dan saksi bahwa ia diturunkan dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.”[2]
Oleh karena itu, memperhatikan keindahan agama ini, meneliti isinya berupa perintah dan larangan, syariat dan hukum, akhlak dan adab, merupakan motivator dan pendukung yang paling kuat untuk masuk ke dalamnya bagi yang belum beriman, dan untuk menambah keimanan bagi yang sudah beriman. Bahkan, semakin kuat perhatiannya terhadap keindahan agama ini, semakin kokoh tapak kakinya dalam mengenal agama ini dan mengenal keindahan dan kesempurnaannya serta keburukan apa saja yang menyelisihinya, niscaya ia akan menjadi orang yang paling kuat keimanannya, yang paling bagus keistiqamahannya dan komitmennya terhadap agama ini.
Oleh karena itu Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata: “Maksudnya, kalangan khusus umat ini dan orang-orang pilihannya, setelah akal mereka menyaksikan keindahan agama ini, keagungan dan kesempurnaannya, serta menyaksikan keburukan, kekurangan dan kejelekan apa saja yang menyelisihinya maka keimanan dan kecintaannya terhadap agama ini akan merasuk ke dalam hati. Kalaulah diberi pilihan antara dilemparkan ke dalam api atau memilih agama selain Islam niscaya ia akan memilih dilemparkan ke dalam api dan dipotong-potong anggota tubuhnya daripada harus memilih agama selainnya. Manusia seperti ini merupakan manusia yang telah kokoh tapak kakinya di atas keimanan. Mereka adalah manusia yang paling jauh dari kemurtadan dan manusia yang paling berhak mendapat keteguhan di atasnya sampai hari mereka bertemu Allah Subhanahu wa Ta’ala.”[3]
Aku katakan: “Dalil yang mendukung perkataan Ibnul Qayyim di atas adalah hadits Anas Radhiyallah ‘anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ada tiga perkara, siapa saja memiliki ketiga perkara tersebut niscaya ia akan merasakan manisnya iman. Yakni apabila Allah dan rasul-Nya menjadi yang paling ia cintai daripada selain keduanya, tidak mencintai seseorang melainkan karena Allah semata, dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana benci dilemparkan ke dalam api.”[4]
Inilah hamba yang merasakan kelezatan iman dan telah merasuk keimanan dalam hati sanubarinya yang paling dalam, lalu hatinya memancarkan cahaya iman dan ia memperoleh ketenangan yang luar biasa. Sehingga tidak mungkin lagi ia kembali pada kekufuran, kesesatan, mengikuti hawa nafsu dan persangkaan dusta. Bahkan ia akan menjadi manusia yang paling dalam keimanannya, paling kuat komitmen dan keteguhannya, paling kuat ikatannya dengan Rabb dan pencipta-Nya. Karena ia masuk ke dalam Islam atas dasar ilmu, qana’ah dan ma’rifah. Sehingga ia mengenal keindahan Islam dan keagungannya, keelokan dan kebersihannya serta keistimewaannya di atas agama-agama yang lain. Maka iapun meridhai Islam menjadi agamanya, ia merasa damai tiada tara dengan Islam. Lalu bagaimana mungkin ia mencari pengganti selainnya? Atau mencari alternatif lain atau mencari tempat pindah atau tempat lainnya?
Dikutip daru buku “Pasang Surut Keimanan”
Penulis: Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr
Penerbit Pustaka At Tibyan
[1] Silakan lihat At-Taudhih wal Bayaan tulisan Ibnu Sa’di halaman 32 dan 33.[2] Miftaah Daarus Sa’adah halaman 324, silakan lihat juga halaman 328 dan sesudahnya.[3] Miftaah Daarus Sa’adah halaman 340-341.[4] Hadits riwayat Al-Bukhaari (I/60) dan Muslim (I/66).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar