Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Adapun manusia apabila Rabb-nya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, “Rabb-ku telah memuliakanku .” Adapun bila Rabb-nya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata, “Rabb-ku menghinakanku.”(QS. 89 : 15-16).
Ujian yang datang dari Allah terkadang dalam bentuk kebaikan ataupun keburukan, sebagaimana firman-Nya:
Allah akan mengujinya dengan kebaikan dan limpahan karunia, apakah dia bersyukur ataukah kufur? Allah juga akan mengujinya dengan kejelekan dan perkara-perkara yang menyakitkan, apakah dia bersabar ataukah membangkang? Kondisi manusia selalu berada di antara kesenangan dan kesusahan. Terkadang dia mendapatkan kesenangan yang membuatnya bahagia dan terkadang mendapatkan kesusahan yang membuatnya sedih, seluruhnya adalah ujian dari Allah. Tabiat manusia yang selalu berbuat zhalim dan jahil, jika diuji Rabb-nya dengan nikmat dan kemuliaan biasanya akan berkata, “Rabb-ku telah memuliakanku”, seolah-olah dia berkata, “Aku memang pantas mendapatkan karunia ini!” Ia tidak mengakui karunia Allah tersebut. Hal ini seperti firman Allah yang mengisahkan perkataan Qarun:
“Ia berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.” (QS. 28 : 78).
Bahkan ketika diingatkan terhadap nikmat Allah, ia berkata:
“Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.” (QS. 28 : 78).
Dia tidak mengakui dan bahkan melupakan karunia Allah kepadanya. Inilah yang terjadi pada kebanyakan manusia, jika Allah memuliakan dan mengaruniakan nikmat kepadanya, dengan enteng mereka berkata, “Ini adalah kemuliaan yang diberikan Allah kepada kami karena kami memang pantas menerimanya!” Andai saja dia berkata, “Sesungguhnya Allah memberikan karunia ini kepada kami sekaligus mengakui bahwa nikmat itu semata didapatnya karena kemurahan Allah lalu menyebut-nyebut nikmat Allah, tentunya hal ini tidaklah mengapa.
Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Adapun bila Rabb-nya mengujinya lalu membatasi rezekinya…” (QS. 89 : 16).
Yakni disempitkan rezekinya.
“…maka dia berkata, “Rabb-ku menghinakanku.” (QS. 89 : 16).
Seolah-olah dia berkata, “Allah telah menzhalimiku dan menghinakanku sehingga tidak memberiku rezeki seperti yang diberikan kepada si fulan, tidak memuliakanku seperti Dia memuliakan si fulan.” Dia pun menjadi manusia yang tidak pernah bersyukur ketika senang, selalu bangga dengan dirinya dan selalu berkata, “Ini adalah hakku!”
Sebaliknya jika ditimpa kesusahan, maka dialah orang yang paling tidak sabar dan akan selalu menentang ketentuan Allah dan selalu berkata, “Rabb-ku menghinakanku.”
Inilah tabiat umumnya manusia. Adapun orang mukmin tidak akan berbuat seperti itu. Seorang mukmin jika diberi kemuliaan dan kenikmatan dari Rabb-nya akan segera bersyukur dan menganggap bahwa semua ini diberikan karena rahmat dan kebaikan-Nya semata, bukan beranggapan bahwa semua itu didapat karena memang merupakan hak dan kemuliaan dirinya. Dan jika mendapat ujian dari Rabb-nya dengan menyempitkan rezekinya dia akan selalu bersabar sambil mengharapkan balasan pahala, dan segera introspeksi diri sambil berkata, “Ini semua karena dosa-dosaku, Allah tidak akan menghinakan dan menzhalimi diriku.” Ia pun menjadi orang yang paling bersabar ketika diuji dengan derita dan bencana dan paling bersyukur ketika diuji dengan kelapangan dan kenikmatan.
Pada kedua ayat ini menganjurkan agar manusia selalu berusaha untuk sabar dan menyabarkan diri. Hendaknya selalu bertanya, “Apa hikmahnya Allah memberiku harta ini? Apa yang Dia kehendaki dariku? Allah ingin agar aku bersyukur.” Atau bertanya, “Apa hikmahnya Allah mengujiku dengan kefakiran, dengan penyakit ini dan itu? Dia inginkan agar aku bersabar.”
Hendaklah dia selalu introspeksi diri agar tidak seperti karakter manusia lainnya yang selalu berbuat jahil dan zhalim. Karena itulah Allah berfirman, “Sekali-kali tidak (demikian)”. Maksudnya bahwa sebenarnya karunia yang diberikan Allah kepadamu bukan karena kemuliaan dirimu ataupun hakmu, namun semuanya karena kemurahan-Nya semata. Sebaliknya ketika Dia membatasi rezekimu bukan berarti Dia menghinakanmu, tetapi karena hikmah tertentu dan keadilan-Nya semata.
Sumber: Kitab Tafsir Juz 'Amma karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Tafsir Surat Al-Fajr ayat 15-16, hal. 406-409. Terbitan Pustaka At-Tibyan. http://an-naba.com/ada-ujian-dibalik-rezeki/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar