Mengenal Hukum Uang Kertas (1/2) Ulama ahli fiqih berbeda persepsi dan sikap menghadapi uang kertas setelah masyarakat secara umum menggunakannya sebagai alat jual beli, berikut saya akan menyebutkan secara global pendapat mereka:
Pendapat pertama: Uang kertas adalah surat piutang yang dikeluarkan oleh suatu negara, atau instansi yang ditunjuk. Di antara ulama yang berpendapat dengan pendapat ini ialah syeikh Muhammad Amin As Syanqithy rahimahullah, Ahmad Husaini dan penulis kitab Al Fiqhu 'Ala Al Mazahib Al Arba'ah (baca Adwa'ul Bayan oleh asy-Syinqithy 8/500, Bahjatul Musytaaq Fi Hukmi Zakaat al-Auraaq, dan al-Fiqhu 'Ala al-Mazahib al-Arba'ah 1/605).
Pendapat ini lemah atau kurang kuat, dikarenakan bila pendapat ini benar-benar diterapkan, berarti tidak dibenarkan membeli sesuatu yang belum ada atau yang disebut dengan pemesanan atau salam, karena menurut pendapat ini akad tersebut menjadi jual-beli piutang dengan dibayar piutang, dan itu dilarang dalam syari'at Islam.
Walaupun hadits ini dilemahkan oleh banyak ulama, akan tetapi larangan jual-beli piutang dengan pembayaran dihutang telah disepakati oleh para ulama (baca Majmu' Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah 30/264, I'ilamul Muwaqi'in oleh Ibnul Qayyim 3/340, Talkhishul Habir oleh Ibnu Hajar al-Asqalany 3/26).
Pendapat kedua: Uang kertas adalah salah satu bentuk barang dagangan. Pendapat ini dianut oleh banyak ulama madzhab Maliky, sebagaimana ditegaskan dalam kitab al-Hawi 'Ala ash-Showy (Al-Hawi 'Ala ash-Showy Bi Hasyiyati asy-Syarh ash-Shaghir, 4/42-86). Dan di antara yang menguatkan pendapat ini ialah Syaikh Abdurrahman as-Sa'dy rahimahullah (sebagaimana beliau nyatakan dalam kitab Fatawa as-Sa'diyyah, hal. 319-324).
Sebagaimana pendapat sebelumnya, pendapat ini ketika diterapkan dan dicermati dengan seksama akan nampak berbagai sisi kelemahannya, di antaranya ialah pendapat ini akan membuka lebar-lebar berbagai praktik riba dan menggugurkan kewajiban zakat dari kebanyakan umat manusia. Hal ini dikarenakan uang yang berlaku pada zaman sekarang terbuat dari kertas, sehingga -konsekuensinya- tidak dapat di-qiyas-kan dengan keenam komoditi riba di atas. Sebagaimana halnya zakat mal tidak dapat dipungut dari orang yang kekayaannya terwujud dalam uang kertas, berapapun jumlahnya, karena kertas bukan termasuk harta yang dikenai zakat, bila tidak dijadikan sebagai barang perniagaan.
Pendapat ketiga: Uang kertas disamakan dengan fulus (yaitu alat jual beli yang terbuat dari selain emas dan perak, dan digunakan untuk membeli kebutuhan yang ringan. Biasanya terbuat dari tembaga atau yang serupa. Dan biasanya fulus semacam ini pada masyarakat zaman dahulu, berubah-rubah pengunaannya, kadang kala berlaku, dan kadang kala tidak), dan pendapat ini walaupun sekilas terlihat kuat, akan tetapi perbedaan fungsinya dengan uang kertas yang berlaku pada zaman sekarang menjadikannya pendapat yang lemah. Sebab, fulus digunakan untuk membeli barang-barang yang sepele, berbeda halnya dengan uang kertas yang berlaku pada zaman sekarang.
Pendapat ketiga ini tidak jauh beda dengan dua pendapat sebelumnya, yaitu memiliki banyak kelemahan, di antaranya: pendapat ini tidak selaras dengan kenyataan, sebab uang kertas yang berlaku pada zaman sekarang ini berfungsi sebagai alat jual-beli, bukan hanya dalam hal-hal yang remeh dan murah, akan tetapi dalam segala hal, sampaipun barang yang termahal dapat dibeli dengannya. Tentu fenomena ini menyelisihi fenomena fulus pada zaman dahulu, yang hanya digunakan sebagai alat jual-beli barang-barang yang remeh.
Pendapat keempat: Uang kertas merupakan pengganti uang emas dan perak. Dengan demikian, uang kertas yang beredar di dunia sekarang hanya terbagi menjadi dua jenis, yaitu uang kertas sebagai pengganti emas atau perak. Pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama fiqih pada zaman sekarang.
Walau demikian, pendapat ini tidak sejalan dengan kenyataan, sebab uang kertas yang beredar di dunia sekarang ini tidak sebagai pengganti emas dan perak, dan juga tidak ada jaminannya dalam wujud emas atau perak. Uang kertas berlaku hanya semata-mata diberlakukan oleh pemerintah setempat, bukan karena ada jaminannya berupa emas atau perak.
Ditambah lagi, pendapat ini tidak mungkin untuk diterapkan, terutama pada saat kita hendak tukar menukar mata uang, karena -menurut pendapat ini- kita harus terlebih dahulu menyelidiki, apakah asal-usul mata uang yang hendak kita tukarkan, bila sama-sama berasalkan dari uang perak, maka tidak dibenarkan untuk melebihkan nilai tukar salah satunya, dan bila berbeda asal-usulnya, maka boleh membedakan nilai tukarnya, walau harus dengan cara kontan.
Pendapat kelima: Uang kertas adalah mata uang tersendiri sebagaimana halnya uang emas dan perak, sehingga uang kertas yang beredar di dunia sekarang ini berbeda-beda jenisnya selaras dengan perbedaan negara yang mengeluarkannya.
Pendapat kelima inilah yang terbukti selaras dengan fakta dan mungkin untuk diterapkan pada kehidupan umat manusia sekarang ini (bagi yang ingin mendapatkan pembahasan panjang lebar tentang permasalahan hukum uang kertas, silakan membaca kitab: Al-Waraq an-Naqdy oleh Syaikh Abdullah bin Sulaiman al-Mani', Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah edisi 1 dan 39, dan Zakaat al-Ashum wa al-Waraq an-Naqdy oleh Syaikh Shaleh bin Ghanim as-Sadlaan).
-bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri
Artikel: www.pengusahamuslim.com
Pendapat pertama: Uang kertas adalah surat piutang yang dikeluarkan oleh suatu negara, atau instansi yang ditunjuk. Di antara ulama yang berpendapat dengan pendapat ini ialah syeikh Muhammad Amin As Syanqithy rahimahullah, Ahmad Husaini dan penulis kitab Al Fiqhu 'Ala Al Mazahib Al Arba'ah (baca Adwa'ul Bayan oleh asy-Syinqithy 8/500, Bahjatul Musytaaq Fi Hukmi Zakaat al-Auraaq, dan al-Fiqhu 'Ala al-Mazahib al-Arba'ah 1/605).
Pendapat ini lemah atau kurang kuat, dikarenakan bila pendapat ini benar-benar diterapkan, berarti tidak dibenarkan membeli sesuatu yang belum ada atau yang disebut dengan pemesanan atau salam, karena menurut pendapat ini akad tersebut menjadi jual-beli piutang dengan dibayar piutang, dan itu dilarang dalam syari'at Islam.
عن ابن عمر رضي الله عنهما : عن النبي صلّى الله عليه وسلّم : (أنه نهى عن بيع الكالئ بالكالئ). رواه الحاكم والدَّارقطني
"Dari sahabat Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannnya beliau melarang jual-beli piutang dengan dibayar piutang." (HR. al-Hakim, ad-Daraquthny dan didhaifkan oleh al-Albany).Walaupun hadits ini dilemahkan oleh banyak ulama, akan tetapi larangan jual-beli piutang dengan pembayaran dihutang telah disepakati oleh para ulama (baca Majmu' Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah 30/264, I'ilamul Muwaqi'in oleh Ibnul Qayyim 3/340, Talkhishul Habir oleh Ibnu Hajar al-Asqalany 3/26).
Pendapat kedua: Uang kertas adalah salah satu bentuk barang dagangan. Pendapat ini dianut oleh banyak ulama madzhab Maliky, sebagaimana ditegaskan dalam kitab al-Hawi 'Ala ash-Showy (Al-Hawi 'Ala ash-Showy Bi Hasyiyati asy-Syarh ash-Shaghir, 4/42-86). Dan di antara yang menguatkan pendapat ini ialah Syaikh Abdurrahman as-Sa'dy rahimahullah (sebagaimana beliau nyatakan dalam kitab Fatawa as-Sa'diyyah, hal. 319-324).
Sebagaimana pendapat sebelumnya, pendapat ini ketika diterapkan dan dicermati dengan seksama akan nampak berbagai sisi kelemahannya, di antaranya ialah pendapat ini akan membuka lebar-lebar berbagai praktik riba dan menggugurkan kewajiban zakat dari kebanyakan umat manusia. Hal ini dikarenakan uang yang berlaku pada zaman sekarang terbuat dari kertas, sehingga -konsekuensinya- tidak dapat di-qiyas-kan dengan keenam komoditi riba di atas. Sebagaimana halnya zakat mal tidak dapat dipungut dari orang yang kekayaannya terwujud dalam uang kertas, berapapun jumlahnya, karena kertas bukan termasuk harta yang dikenai zakat, bila tidak dijadikan sebagai barang perniagaan.
Pendapat ketiga: Uang kertas disamakan dengan fulus (yaitu alat jual beli yang terbuat dari selain emas dan perak, dan digunakan untuk membeli kebutuhan yang ringan. Biasanya terbuat dari tembaga atau yang serupa. Dan biasanya fulus semacam ini pada masyarakat zaman dahulu, berubah-rubah pengunaannya, kadang kala berlaku, dan kadang kala tidak), dan pendapat ini walaupun sekilas terlihat kuat, akan tetapi perbedaan fungsinya dengan uang kertas yang berlaku pada zaman sekarang menjadikannya pendapat yang lemah. Sebab, fulus digunakan untuk membeli barang-barang yang sepele, berbeda halnya dengan uang kertas yang berlaku pada zaman sekarang.
Pendapat ketiga ini tidak jauh beda dengan dua pendapat sebelumnya, yaitu memiliki banyak kelemahan, di antaranya: pendapat ini tidak selaras dengan kenyataan, sebab uang kertas yang berlaku pada zaman sekarang ini berfungsi sebagai alat jual-beli, bukan hanya dalam hal-hal yang remeh dan murah, akan tetapi dalam segala hal, sampaipun barang yang termahal dapat dibeli dengannya. Tentu fenomena ini menyelisihi fenomena fulus pada zaman dahulu, yang hanya digunakan sebagai alat jual-beli barang-barang yang remeh.
Pendapat keempat: Uang kertas merupakan pengganti uang emas dan perak. Dengan demikian, uang kertas yang beredar di dunia sekarang hanya terbagi menjadi dua jenis, yaitu uang kertas sebagai pengganti emas atau perak. Pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama fiqih pada zaman sekarang.
Walau demikian, pendapat ini tidak sejalan dengan kenyataan, sebab uang kertas yang beredar di dunia sekarang ini tidak sebagai pengganti emas dan perak, dan juga tidak ada jaminannya dalam wujud emas atau perak. Uang kertas berlaku hanya semata-mata diberlakukan oleh pemerintah setempat, bukan karena ada jaminannya berupa emas atau perak.
Ditambah lagi, pendapat ini tidak mungkin untuk diterapkan, terutama pada saat kita hendak tukar menukar mata uang, karena -menurut pendapat ini- kita harus terlebih dahulu menyelidiki, apakah asal-usul mata uang yang hendak kita tukarkan, bila sama-sama berasalkan dari uang perak, maka tidak dibenarkan untuk melebihkan nilai tukar salah satunya, dan bila berbeda asal-usulnya, maka boleh membedakan nilai tukarnya, walau harus dengan cara kontan.
Pendapat kelima: Uang kertas adalah mata uang tersendiri sebagaimana halnya uang emas dan perak, sehingga uang kertas yang beredar di dunia sekarang ini berbeda-beda jenisnya selaras dengan perbedaan negara yang mengeluarkannya.
Pendapat kelima inilah yang terbukti selaras dengan fakta dan mungkin untuk diterapkan pada kehidupan umat manusia sekarang ini (bagi yang ingin mendapatkan pembahasan panjang lebar tentang permasalahan hukum uang kertas, silakan membaca kitab: Al-Waraq an-Naqdy oleh Syaikh Abdullah bin Sulaiman al-Mani', Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah edisi 1 dan 39, dan Zakaat al-Ashum wa al-Waraq an-Naqdy oleh Syaikh Shaleh bin Ghanim as-Sadlaan).
-bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri
Artikel: www.pengusahamuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar