Jumat, 01 Juli 2011

Tanya Jawab: Hukum Pajak

HUKUM PAJAK DAN BEKERJA DI INSTANSI PAJAK

Pertanyaan:

Assalaamu'alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh
Ustadz... Saat ini saya bekerja di Direktorat Jendhaeral Pajak. Pekerjaan ini merupakan buah dari kuliah saya di perguruan tinggi kedinasan, sehingga saya harus menjalani masa ikatan dinas selama 10 tahun.

Ustadz, yang ingin saya tanyakan adalah:
  1. Bagaimanakah hukum pajak menurut Islam?
  2. Bagaimana jugakah hukum penghasilan yang saya terima dari PNS Ditjen Pajak ini?
  3. Saran Ustadz terkait posisi saya?
Syukran Ustadz.

Semoga rahmat Allah SWT senantiasa terlimpahkan kepadamu.

Maeda D Candra

Jawaban:

Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahklan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Saudara Maeda D Candra, semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada anda dan keluarga.

Agama Islam yang anda imani dan cintai ini adalah agama yang benar-benar menghormati hak asasi dan kepemilikan umat manusia. Karenanya Islam tidak membenarkan bagi siapapun untuk mengambil hak seseorang tanpa seizin darinya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu." (Qs. An Nisa': 29)

Sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah menegaskan hal ini pada banyak hadits, diantaranya beliau bersabda:

لاَ يَأْخُذْ أَحَدُكُمْ عَصَا أَخِيهِ، وفي رواية: مَتَاعَ أَخِيهِ لاَعِبًا أَوْ جَادًّا فَمَنْ أَخَذَ عَصَا أَخِيهِ فَلْيَرُدَّهَا إِلَيْهِ. رواه أبو داوج والترمذي وحسنه الألباني

"Janganlah salah seorang darimu mengambil tongkat saudaranya,-pada riwayat lain: barang saudaranya- baik karena bermain-main atau sungguh-sungguh. Dan barang siapa yang terlanjur mengambil tongkat saudaranya, hendaknya ia segera mengembalikan tongkat itu kepadanya." (Riwayat Abu Dawud, At Tirmizy dan dinyatakan sebagai hadits hasan oleh Al Albani)

Demikianlah syari'at agama Islam yang saudara cintai ini.

Dan barang siapa yang melanggar ketentuan ini, maka diberlakukan padanya hukum-hukum Islam, baik di dunia ataupun di akhirat.

Di dunia misalnya dikenakan hukum potong tangan bagi pencuri, atau dipancung secara menyilang bagi perampok dan lain sebagainya:

وَأَيْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ، لَقَطَعْتُ يَدَهَا. متفق عليه

"Sungguh demi Allah, andai Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya." (Muttafaqun 'alaih)

إِنَّمَا جَزَاء الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُواْ أَوْ يُصَلَّبُواْ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلافٍ أَوْ يُنفَوْاْ مِنَ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ. المائدة 33

"Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya/diasingkan). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar." (Qs. Al Maidah: 33)

Berdasarkan prinsip ini, Islam tidak membenarkan berbagai pungutan yang tidak didasari oleh alasan yang dibenarkan, diantaranya ialah pajak. Pajak atau yang dalam bahasa arab disebut dengan al muksu adalah salah satu pungutan yang diharamkan, dan bahkan pelakunya diancam dengan siksa neraka:

إِنَّ صَاحِبَ المُكْسِ فِي النَّارِ. رواه أحمد والطبراني في الكبير من رواية رويفع بن ثابت رضي الله عنه ، وصححه الألباني.

"Sesungguhnya pemungut upeti akan masuk neraka." (Riwayat Ahmad dan At Thobrany dalam kitab Al Mu'jam Al Kabir dari riwayat sahabat Ruwaifi' bin Tsabit radhiallahu 'anhu, dan hadits ini, oleh Al Albany dinyatakan sebagai hadits shahih.)

Dalam tata keuangan negara Islam, dikenal empat jenis pungutan:

1. Zakat Mal, dan Zakat Jiwa. Pungutan ini hanya diwajibkan atas umat Islam. Dan saya yakin anda telah mengetahui perincian & penyalurannya dengan baik.

2. Al Jizyah (Upeti)/pungutan atas jiwa, dikenakan atas ahlul kitab yang berdomisili di negeri Islam.

3. Al Kharaj (semacam pajak bumi), dikenakan atas ahlul kitab yang menggarap tanah/lahan milik negara Islam. Hasil kedua pungutan dari ahlul kitab yang berdomisili di negeri Islam ini digunakan untuk membiayai jalannya pemerintahan Islam.

4. Al 'Usyur atau Nisful 'Usyur, Al 'Usyur (atau 1/10) adalah pungutan atas pedagang ahlul harb (orang kafir yang berdomisili di negeri kafir dan tidak terjalin perjanjian damai dengan negara Islam atau bahkan negara kafir yang memerangi negara Islam), dipungut dari mereka seper sepuluh dari total perniagaannya di negeri Islam. Sedangkan Nisful 'Usyur (1/20) adalah pungutan atas para pedagang ahlul zimmah, orang kafir yang menghuni negeri Islam.

Itulah pungutan yang dikenal dalam syari'at Islam. Bila anda bandingkan pungutan pajak dengan ketiga jenis pungutan dalam Islam, maka lebih serupa dengan pungutan ke 2, ke 3 & ke 4 (Al Jizyah, Al Kharaj & Al 'Usyur atau Nisful 'Usyur). Padahal pajak diwajibkan atas semua warga negara, tanpa pandang bulu agamanya. Tentu ini adalah perbuatan yang tidak terpuji alias menyelisihi syari'at Islam.

Seharusnya, Negara Islam membedakaan penduduknya berdasarkan agamanya, umat Islam dipungut zakat jiwa dan zakat harta kekayaan, termasuk zakat perniagaan, sedangkan non muslim dipungut Al Jizyah, Al Kharaj & Al 'Usyur atau Nisful 'Usyur.

Yang terjadi, zakat tidak diurus dan tidak dikelola dengan baik, sedangkan Al Jizyah &  Al Kharaj dikenakan atas semua warga negaranya, tidak heran bila anda mau makan saja harus membayar pungutan, anda menjual makananpun juga dikenakan upeti, dan seterusnya.

Saran saya, saudara Maeda D Candra berusaha untuk minta mutasi ke instansi lain yang tidak ada kaitannya dengan pajak atau perbankan, walaupun resikonya turun golongan. Bila solusi ini tidak dapat ditempuh, maka lebih baik saudara Maeda D Candra berhenti dari pekerjaan ini dan mencari pekerjaan lain yang jelas-jelas halal. Percayalah, bahwa bila saudara meninggalkan pekerjaan yang haram karena Allah, pasti Allah memberi saudara jalan keluar dan pekerjaan yang halal dan lebih baik dari yang pekerjaan sekarang.

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا {2} وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا  . الطلاق 2-3

"Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (Qs. At Talaaq: 2-3)

Dahulu ulama' kita menegaskan:

مَنْ تَرَكَ شَيئاً لله عَوَّضه الله خَيراً منه

"Barang siapa meninggalkan suatu hal karena Allah, niscaya Allah menggantinya dengan yang lebih baik."

Wallahu a'alam bisshawab.

Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.

***

Redaksi:
Berikut ini kami sertakan penjelasan ustadz mengenai pajak sebagai pelengkap penjelasan di atas. Penjelasan ustadz di bawah ini sangat erat kaitannya dengan Tanya Jawab mengenai Akad Black Market yang sudah pernah diposting sebelumnya. Diskusi lengkap tentang hal ini dapat Anda simak pada milis Pengusaha Muslim (pengusaha-muslim@yahoogroups.com).
 
MENGAPA ISLAM MENGHARAMKAN PAJAK?

Pertanyaan:

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh,
Maaf sebelumnya kalo saya ikut nimbrung lagi atas permasalahan ini, karena saya bekerja di lingkup kepabeanan, jadi ada beban moral untuk menulis sebatas pengetahuan yang saya miliki.

Di kepabeanan tidak dikenal istilah Black Market, yang dikenal adalah istilah penyelundupan sebagaimana tercantum dalam Psl 102 UU No 17/1996 tentang kepabeanan. Dalam pasal tersebut secara rinci dijelaskan kategori tindakan apa saja yang bisa masuk kategori penyelundupan.

Dalam UU tersebut, tidak dikenal istilah jalur resmi atau tidak atau setengah resmi. Yang ada hanya jalur merah dan jalur hijau.
Secara sederhana, siapa saja yang mengimpor atau ekspor yang tidak memberitahukan kepada Bea Cukai (BC) dianggap sebagai penyelundupan. Jadi semua 'resmi' melalui satu pintu masuk, yaitu melalui BC.

Mungkin yg dimaksud setengah resmi oleh Pak Chris adalah impor secara borongan (ini bukan istilah kepabeanan, hanya istilah umumnya). Impor inilah yg diperangi oleh saudara-saudara kita di BC, karena memanipulasi data-data untuk mengurangi pembayaran Bea Masuk (BM).

Menurut hemat saya sebagai seorang awam dalam ilmu Islam, apakah semua harus dipahami secara kaku bahwa kalo agama tidak mengatur berarti halal dan aturan pemerintah boleh dilanggar, apakah kita tidak sebaiknya membuka diri untuk pemahaman sederhana saya.

1. Kalo memang segala aturan yang dibuat oleh pemerintah yang tidak ada dalil atau tidak ada dalam Al Qurán dan Hadits, apakah semuanya boleh dilanggar? saya tidak membayangkan kalo semua rambu-rambu lalu lintas (yang tentunya tidak ada dalilnya) diabaikan atau dilanggar oleh semua orang karena agama tidak mengatur lalu lintas. Berapa banyak orang akan terdzolimi akibat ulah ugal-ugalan pengendara lain, berapa banyak orang meninggal atau luka karena kecelakaan.

2. Saya tidak bisa membayangkan kalo penyelundupan memang dibolehkan oleh agama kita, karena mudharatnya lebih besar. Kita ambil contoh kebijakan pemerintah yang melarang impor pakaian bekas, kalau pakaian bekas dibolehkan masuk, maka selain akan timbul wabah penyakit yg terbawa dalam pakaian bekas itu, industri tekstil kita akan hancur karena kalah bersaing dengan pakaian bekas.

3. BM dipungut agar industri kita bisa bersaing dengan barang impor. Untuk diketahui bahwa BM dikenai lebih tinggi untuk barang jadi, sedang untuk bahan baku sebagian besar BM-nya 0%. Kalo penyelundupan dibolehkan atau BM tidak dipungut, akibat yg timbul sangat besar, yakni industri kita akan gulung tikar dan akibatnya timbul PHK besar-besaran yang tentunya menimbulkan kerawanan sosial. Daya beli masyarakat akan turun dan inflasi akan tinggi.

4. BM dipungut untuk membiayai pembangunan yang tentunya akan dirasakan oleh semua umat, termasuk kita, kalau memang penyelundupan boleh dan BM tidak dipungut, darimana pemerintah membiayai pembangunan infrastruktur yang dinikmati oleh semua umat, termasuk para pengusaha. Dari Zakat? Apakah negara kita yang notabene bukan negara muslim mampu membiayai pembangunan dengan zakat selama masyarakatnya belum sepenuhnya sadar akan pentingnya zakat sebagai pengganti pajak?

5. Dari dalil-dalil yang sudah disampaikan ustadz dan rekan-rekan lain, saya tidak menemukan ada yang menyampaikan dalil yang langsung menyebutkan bahwa Allah atau Nabi Muhammad melarang secara tegas umatnya memungut pajak. Maksud saya sebagai seorang awam, apakah kita tidak sebaiknya melihat secara komprehensif dari kemaslahatan umat dan mudharat yang ditimbulkan daripada keuntungan yang didapat dengan tidak adanya Bea masuk.

Itulah sekedar pemahaman sederhana saya dari sudut pandang muslim yang masih awam, tapi sebagai seorang muslim yang msh awam, kalau kita tidak mau menaati pemerintah terus siapa yang mengatur hubungan antar manusia dalam konteks keduniaan yang belum ada di zaman Rasulullah, seperti aturan kepabeanan, lalu lintas, izin usaha, izin tempat tinggal, dll... pasti kacau kalau tidak ada yang mengatur, karena semua akan saling serobot dan saling mendzolimi satu sama lainnya. Wallahualam bisawwab.

Donny E

Jawaban:

Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Saudara Donny dan juga saudara-saudaraku lainnya yang telah memberikan komentar seputar masalah hukum perpajakan. Saya ucapkan banyak terimakasih atas masukan dan kritikannya, semoga apa yang saudara sekalian sampaikan menjadi timbangan amal sholeh di sisi Allah.

Langsung saja, dari sekian komentar yang masuk, saya rasa komentar saudara Donny cukup mewakili semua komentar yang ada. Kerenanya, saya cukupkan untuk memberikan tanggapan padanya saja.

Saudara-saudaraku! Sebelum saya memberikan tanggapan lebih jauh, saya harap saudara kembali membaca jawaban saya.

Pada jawaban itu telah saya sebutkan macam-macam pungutan yang dibenarkan dalam Islam.

Sekedar mengingatkan, kembali saya sebutkan disini:

1. Zakat mal, dan zakat jiwa (zakat fitrah). Pungutan ini hanya diwajibkan atas umat Islam. Dan saya yakin anda telah mengetahui perincian & penyalurannya dengan baik.

2. Al Jizyah (Upeti)/pungutan atas jiwa, dikenakan atas ahlul kitab yang berdomisili di negeri Islam.

3. Al Kharaj (semacam pajak bumi) dikenakan atas ahlul kitab yang menggarap tanah/lahan milik negara Islam. Hasil kedua pungutan dari ahlul kitab yang berdomisili di negeri Islam ini digunakan untuk membiayai jalannya pemerintahan Islam.

4. Al 'Usyur atau Nisful 'Usyur, Al 'Usyur (atau 1/10) adalah pungutan atas pedagang ahlul harb (orang kafir yang berdomisili di negeri kafir dan tidak terjalin perjanjian damai dengan negara islam atau bahkan negara kafir yang memerangi negara Islam), dipungut dari mereka seper sepuluh dari total perniagaannya di negeri Islam. Sedangkan Nisful 'Usyur (1/20) adalah pungutan atas para pedagang ahlul zimmah, orang kafir yang menghuni negeri Islam.

Bila saudara-saudaraku sekalian merenungkan baik-baik keempat jenis pungutan ini, saya yakin semua yang saudara permasalahkan akan sirna dengan sendirinya atau minimal jauh berkurang.

Mengapa demikian? Karena jizyah adalah semakna dengan pajak penghasilan yang sekarang dipungut oleh pemerintah, hanya saja jizyah hanya dibebankan kepada non muslim yang tinggal di negara islam. Dengan demikian warga negara yang beragama Islam tidak dipungut pajak penghasilan/jizyah.

Al Kharaj adalah semacam pajak bumi yang sekarang diberlakukan oleh pemerintah, hanya saja bedanya, al kharaj hanya dikenakan pada bumi yang produktif. Dengan demikian al kharaj lebih ringan dibanding PBB yang diberlakukan oleh pemerintah. Dan pungutan ini juga hanya diberlakukan atas orang-orang non muslim yang berdomisili di negara Islam dan mendapatkan izin untuk menggarap/mengolah sebagian dari lahan negara.

Al 'Usyur atau Nishful 'Usyur adalah semacam pajak perniagaan (penjualan & pembelian)  yang diberlakukan oleh pemerintah.

Dengan demikian yang menjadi inti permasalahan bukan pada ada atau tidaknya pungutan, akan tetapi anggota masyarakat yang dibebani pungutan tersebut.

Bila pajak atau bea cukai diberlakukan seperti sekarang yang berlaku di berbagai negara, maka betapa enaknya orang kafir yang tinggal di negeri Islam. Mereka hanya dikenai satu jenis pungutan saja. Sedangkan orang muslim dikenai pajak, bea cukai dan juga masih dipungut zakat mal dan zakat jiwa (fitrah).

Coba saudaraku semua kembali memikirkan fakta ini? bukankah itu artinya penindasan atas warga muslim? Bukankah ini artinya menganak emaskan non muslim di atas muslim? Relakah anda dengan perlakuan semacam ini?

Sebagai seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir: manakah yang akan anda dahulukan dan tidak mungkin anda tinggalkan; zakat atau pajak?

Menurut hemat dan perasaan saudara: manakah yang paling besar dampak negatifnya bila dilanggar?

Sebagai warga negara yang baik dan sekaligus sebagai seorang muslim yang benar-benar beriman: manakah yang benar-benar berguna bagi kehidupan umat manusia, anda membayar pajak atau anda membayar zakat?

Manakah yang benar-benar akan mengentaskan kemiskinan dan benar-benar memakmurkan masyarakat: pajak atau zakat?

Saya yakin sebagai seorang yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir: anda pasti memilih zakat pada setiap pertanyaan di atas. Zakat benar-benar sampai kepada yang membutuhkan, meningkatkan daya beli masyarakat, mendatangkan keberkahan dalam kehidupan masyarakat?

Masalah fakta yang terjadi di negara kita dan juga di negara lainnya: dimana pemerintah tidak memperdulikan zakat, dan lebih mengutamakan pajak, itu kesalahan siapa? Kesalahan agama atau manusia?

Andai pemerintah yang ada mengelola dan menyalurkan dana zakat sebagaimana yang disyari'atkan dalam agama, niscaya negara menjadi makmur, daya beli masyarakat tinggi, sekolah gratis, pengobatan gratis, dan piutang masyarakat terbayar, TNI & Polri dapat digaji dengan layak, persenjataan dapat dibeli.

Akan tetapi pemerintah malah mementingkan pajak, sehingga tidak berkah, hasil pungutan pajak lenyap ke kantung-kantung sebagain orang, dan konsultan pajak menjadi kaya raya, orang-orang non muslim bisa akal-akalan sehingga bebas pajak (ngemplang pajak) dan seterusnya.

Saudara ingin tahu apa perbedaan antara keduanya: Perbedaannya pada keimanan saudara. Saudara membayar zakat dengan motivasi dari dalam diri anda, iman dan ketakwaan anda menyadarkan anda untuk membayar zakat; Sedangkan pajak, kalaulah bukan keterpaksaaan, mungkin saja 99 % penduduk yang wajib pajak akan ngemplang pajak, makanya mereka meminta para konsultan pajak, guna mengakali besaran kewajiban pajaknya. Bukankah demikian?

Coba kembali saudara cermati: siapakah yang selama ini selalu mengemplang pajak: yang membayar zakat atau yang tidak? Orang Islam atau orang kafir?

Andai pemerintah mengelola zakat dengan baik, mereka tidak perlu dana untuk menyadarkan masyarakat muslim tentang wajibnya zakat. Setiap guru ngaji, ustadz, kiayi, guru agama, dan juru dakwah dengan sendirinya menjalankan tugas sosialisasi zakat. Coba saudara tanya ke ustadz atau khatib jum'at di sekitar anda: Siapa yang memerintahkan mereka berceramah, menggalakkan zakat? Mendapat gaji berapa besar mereka dari sosialisasi itu?

Jadi pemerintah hanya memungut, mengelola dan menyalurkannya. Enak bukan?

Masalah perpajakan yang sekarang berlaku di negara kita: Coba anda pikirkan dengan baik, siapakah sebenarnya pemilik pabrik Toyota, Mc Donald, KFC, Sony, Pepsi, dll, yang ada di Indonesia. Apakah itu milik warga muslim atau milik orang-orang kafir, sedangkan orang muslim yang menjadi agen atau PMT (pemegang merek tunggal) hanya sekedar berperan sebagai perwakilan?

Bila demikian, tidak ada masalah memungut pajak dari barang-barang tersebut, karena itu adalah bagian dari perniagaan orang-orang kafir.

Kembali saya bertanya: Milik siapakah CALTEX, Shell, Freeport dan yang serupa? Anda pasti sepenuhnya mengetahui bahwa itu adalah milik orang-orang kafir, dengan demikian anda tidak perlu risau dari pungutan pajak yang dibebankan kepada mereka. Bahkan seharusnya, pajak yang dibebankan kepada mereka melebihi yang selama ini dipungut dari mereka. Karena kalau menurut teladan khalifah Umar bin Al Khattab mereka dikenakan 10 % ('usyur) dari total penghasilan mereka.

Jadi saudara tidak perlu khawatir bahwa negara akan kehilangan pendapatannya. Ditambah lagi apa yang saudara dikhawatirkan bahwa negara Islam akan kebanjiran barang dari negara kafir itu tidak ada dasarnya. Karena pemerintah akan memungut 10 % atau minimal 5 % dari total penghasilan perusahan milik orang kafir yang memasarkan barangnya di negeri Islam.

Setelah mengetahui konsep zakat, Kharaj, 'Usyur atau Nishful 'Usyur di atas, masihkan ada kekawatiran bahwa negara akan kolap tidak memilik sumber pendapatan? Atau masihkan ada kekhawatiran bahwa industri dalam negeri (baca = umat Islam) akan kalah bersaing?

Ditambah lagi: Coba saudara renungkan fakta masyarakat Islam ini. Umat Islam sekarang ini lebih suka membeli merek ketimbang membeli mutu barang? Saya yakin saudara paham apa yang saya maksud. Betapa sepatu produksi Cibaduyut yang memiliki mutu bagus tak kalah dengan mutu sepatur produksi Italia, akan tetapi susah mencari pasar di negeri sendiri, walau dijual dengan harga murah? Akan tetapi sepatu Italia yang dijual dengan harga mahal, dengan mudahnya dan bahkan masyarakat berebut untuk membelinya?

Bukan sekedar berebut membeli saja, akan tetapi masyarakat juga merasa hebat lebih mulia, terhormat, dan gengsi bila memakai sepatu Italia. Sebaliknya mereka minder bila memakai sepatu cibaduyut? Inilah sebenarnya yang menjadikan produk dalam negeri hancur berantakan? Loyal & harga diri masyarakat ada pada merek orang kafir dan kehinaan serta keterbelakangan ada pada merek orang muslim atau pribumi?

Oleh karena itu saya harap, saudara tidak mengalihkan duduk permasalahan, sehingga menjadikan saudara kurang dapat memandang permasalahan hukum pajak atas umat islam dengan jernih.

Saudara Donny semoga Allah memberkahi diri saudara dan juga keluarga. Di atas saudara berkata: "BM dipungut untuk membiayai pembangunan yang tentunya akan dirasakan oleh semua umat, termasuk kita, kalau memang penyelundupan boleh dan BM tidak dipungut, darimana pemerintah membiayai pembangunan infrastruktur yang dinikmati oleh semua umat, termasuk para pengusaha. Dari Zakat? Apakah negara kita yang notabene bukan negara muslim mampu membiayai pembangunan dengan zakat selama masyarakatnya belum sepenuhnya sadar akan pentingnya zakat sebagai pengganti pajak?"
Sebagai seorang muslim saya rasa kurang pantas untuk mengatakan perkataan semacam ini tentang syari'at zakat, yang notabene merupakan rukun Islam agama saudara. Coba saudara kembali renungkan ucapan saudara ini! Selanjutnya coba bayangkan: Bila kelak di hari kiamat saudara berhadapan dengan Allah, anda dimintai pertanggung jawaban atas ucapan ini, apa yang kira-kira akan saudara katakan kepada Allah? Pikirkan baik-baik saudaraku!

Saya memahami mengapa saudara komplain terhadap jawaban saya. Saudara berusaha mecocokkan dan menghukumi syari'at Islam dengan praktek dan fakta negara kita yang anda sendiri mengakui bukan negara Islam. Tidak heran bila saudara tidak menemukan titik temu antara keduanya. Bila saudara membahas syari'at islam, maka hendaknya saudara memandangnya dari sudut keimanan saudara, bukan dari praktek masyarakat atau kesalahan-kesalahan pemerintah yang ada.

Bila saudara berbicara dengan kaca mata iman, saya yakin tidak akan ada kata lain yang keluar dari lisan saudara selain ucapan:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ . النور 51

"Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili diantara mereka ialah ucapan: 'Kami mendengar dan kami patuh.' Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Qs. An Nur: 51)

Masalah peraturan lalu lintas, dan yang serupa, maka tidak ada kaitannya dengan pembahasan hukum pajak atas orang Islam. Karena hukum itu mendatangkan maslahat dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan serta tidak bertentangan dengan syari'at Islam.

Akan tetapi pada permasalahan kita terdapat pertentangan: Ketahuilah bahwa setiap negara yang memungut pajak pasti menelantarkan urusan zakat. Padahal masalah zakat adalah salah satu tugas pokok negara Islam. Sebagaimana setiap negara yang memungut pajak, pasti tidak membedakan antara muslim dari non muslim, semuanya dipungut, sehingga menjadikan beban warga muslim dua kali lipat dari beban non muslim. Beban pribumi menjadi dua kali lipat dari beban warga asing. Warga non muslim dan non pribumi mendapat perlakuan istimewa, sedangkan warga muslim diperlakukan sebagai anak tiri. Tentu saudara sebagai seorang muslim tidak ridha dengan perilakuan semacam ini. Bila saudara telah memahami ini, niscaya saudara dapat memahami mengapa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ صَاحِبَ المُكْسِ فِي النَّارِ. رواه أحمد والطبراني في الكبير من رواية رويفع بن ثابت رضي الله عنه ، وصححه الألباني.

"Sesungguhnya pemungut upeti akan masuk neraka." (Riwayat Ahmad dan At Thobrany dalam kitab Al Mu'jam Al Kabir dari riwayat sahabat Ruwaifi' bin Tsabit radhiallahu 'anhu, dan hadits ini, oleh Al Albany dinyatakan sebagai hadits shahih)

Para pemungut upeti dari umat Islam diancam masuk neraka, karena perlakuan ini artinya menyamakan orang muslim dengan orang kafir. Bahkan faktanya, orang kafir lebih dimuliakan dibanding orang Islam, karena para pemungut pajak masih juga menganggap orang Islam sebagai orang jahat walaupun telah membayar zakat, bersedekah, seakan zakat tidak ada nilainya di mata para pemungut zakat. Sedangkan orang kafir asalkan telah membayar pajak dianggap sebagai warga negara atau anggota masyarakat yang baik lagi bijak, walaupun ia kafir menyekutukan Allah, tidak perduli terhadap kaum fakir, dan miskin.

Semoga jawaban ini berguna bagi saudara-saudaraku, dan lebih membuka sudut pandang saudaraku sekalian tentang syari'at islam. Wallahu a'alam bisshowab.

Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar